Arus Tangsel. Unik, spiritual, tetapi membuat hati merindu, mungkin kata-kata itu yang bisa melukiskan keindahan Cafe yang satu ini. Yap, Cafe Rumi namanya. Bagi sebagian orang, mungkin yang terbayang adalah sebuah Cafe konvensional dengan interior yang nyaman, lantunan musik lembut nan santai, serta menu khas favorit.
Dalam pantauan Crew ArusNews Kamis (27/1/2022) Cafe Rumi mempunyai keunikan tersendiri, meski dari sudut luar terlihat seperti bangunan sebuah Cafe biasa, namun saat menelusuri ke ruang dalam, tampak terlihat kondisi yang sangat jauh berbeda.
Suasana yang sarat akan spiritual jelas terpampang dengan adanya tempat ritual dzikir, ditambah posisi duduk berbentuk melingkar, dihiasi pernak-pernik Sufi. Serta ornamen-ornamen kental khas Timur Tengah berpadu ukiran Islam Nusantara, membuat mata semakin takjub akan keragamannya.
Dalam penuturannya Muchsin dihadapan awak media ArusNews, selaku pengelola menjelaskan. “Cafe Rumi didirikan sekitar 14 tahun silam, tepatnya pada tanggal 8 Agustus 2008, oleh lima sekawan yang memiliki latar belakang pengusaha di Jakarta”.
Tempat ini diresmikan oleh Syaikh Hisyam Kabbani, seorang tokoh Sufi besar dunia yang berasal dari Lebanon.
Cafe Rumi berdiri di tengah jantung pusat Ibukota, bertujuan mewadahi kaum urban perkotaan yang sebagian besar banyak mengalami problematika akan nilai-nilai spiritual.
Terletak di kawasan Kebayoran Baru. Jakarta Selatan, namun kini berpindah di kawasan Tangerang Selatan, tepatnya di jalan Pepaya gang 3, Cempaka putih, Ciputat.
Lebih lanjut Muchsin menjelaskan, Cafe Rumi menyajikan santapan rohani, bukan jasmani. Menurutnya “jasad manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani dan rohani. Jika jasmani membutuhkan asupan makanan, begitupun dengan rohani”. Inilah yang coba dihidangkan oleh Cafe Rumi.
Berada di tengah daerah metropolitan, Muchsin merasa lebih nyaman menjalankan tujuan dakwahnya. Berbeda dengan menyampaikan dakwah di Masjid, atau dilembaga dakwah pada umumnya.
Cafe Rumi memiliki corak Islam beraliran Sufi yang menargetkan bagi mereka yang mencari sisi kedamaian dan keindahan Islam.
“Justru di luar Masjidlah masih banyak orang yang belum tersentuh hatinya” tutur nya saat wawancara tim arusnews.
Nama Cafe Rumi diambil dari tokoh besar Sufi yakni, Syaikh Jalaluddin Rumi. Banyak pengaruh darinya yang diadopsi sebagai refrensi nilai spiritual di tempat ini.
Selain itu, sebagai sebuah strategi dakwah yang menjebak dalam hal kebaikan. Istilah terminologi “Cafe” yang digunakan.
“Masyarakat perkotaan saat ini, selalu sibuk mengejar urusan materi, sehingga menimbulkan disorientasi dan depresi sosial yang mengakar pada sikap hedonisme, dan banyak mengalami krisis nilai-nilai spiritual”. Maka hal ini yang digunakan untuk merangkul mereka, jelas Muchsin.
Menariknya, banyak dari masyarakat tertipu saat datang, sebagian besar bahkan mengira, ditempat ini layaknya menjual makanan dan minuman seperti Cafe-cafe pada umumnya.
Tetapi, setelah mencoba hidangan ala Cafe Rumi, banyak pula yang menjadi ketagihan.
Oleh karena strategi uniknya inilah, seringkali didatangi oleh pelanggan setianya, yang sebagian besar didominasi dari kalangan perkantoran.
Muchsin menambahkan, “Disini menyediakan wadah untuk mengekspresikan rasa cinta kepada Sang Pencipta”. Kegiatan rutin diadakan setiap Senin malam selepas sholat Isya, dilanjutkan dengan kajian Sufistik, dzikir bersama hingga mensenandungkan shalawat, yang kemudian di tutup dengan tarian whirling dervish (tarian khas Sufi).
“Siapa saja boleh datang ke sini, tidak memandang Suku, Agama, Ras, dari manapun, semua bisa mengekspresikan cinta dan mencari keindahan serta kedamaian bersama disini”. Tegasnya.
Bagi kalangan Sufi, nada-nada Islami, seperti dzikir atau pembacaan syair-syair sholawat berfungsi untuk menambah-nambah kekhusyuan dan keasyikan dalam hal menghadirkan Allah SWT.
Batin seorang Sufi akan terasa larut dalam irama-irama, tatkala berdzikir atau bersholawat. Keadaan ini menghasilkan ketenangan dzahir dan ketenangan batin.
Dengan nuansa spiritual Sufi, komunitas ini mempunyai peranan untuk menjawab tantangan modernisme yang dialami. Sebuah solusi alternatif untuk para pencari cinta Tuhan dan juga dalam mengatasi keresahan-keresahan yang terjadi di masyarakat perkotaan.
F.M Yusuf/Red